Akulturasi
adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia
dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan
asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan
kelompok itu sendiri.
Perkembangan penting dari studi tentang akulturasi didapat dari Graves (1967), yang membedakan akulturasi antara tingkat individu dan pada tingkat kelompok. Dia merujuk akulturasi psikologis (psychological acculturation) mengindikasikan perubahan yang dialami pada tingkat individu, dan perilaku serta identitas sebagai hal yang dihubungkan dalam perubahan sosial pada tingkat kelompok (dalam Berry dkk, 1996; 1999). Pada tingkat individu, semua aspek perilaku yang ada dalam individu akan dirujuk sebagai perilaku yang akan berubah, yang akan menjadi dua komponen perilaku dalam strategi akulturasi individu tersebut (Berry dkk., 1999), yaitu melindungi kebudayaan dan mempelajari kebudayaan. Kedua komponen tersebut jarang dapat dilakukan dengan sempurna dalam satu kegiatan, tetapi lebih sering keduanya dilakukan secara selektif, yang akan menghasilkan dua sikap, mempertahankan atau berubah.
Akulturasi psikologis dalam matriks akulturasi menurut John Berry adalah ketika individu yang masing-masing memiliki perbedaan latar belakang budaya dihadapkan pada fenomena perubahan budaya dalam kelompoknya maka individu melakukan akulturasi psikologis sebagai upaya mempertahankan identitas budayanya. Akulturasi psikologis (psychological acculturation) mengindikasikan perubahan yang dialami pada tingkat individu, dan perilaku serta identitas sebagai hal yang dihubungkan dalam perubahan sosial pada tingkat kelompok. Pada tingkat individu, semua aspek perilaku yang ada dalam individu akan dirujuk sebagai perilaku yang akan berubah, yang akan menjadi dua komponen perilaku dalam strategi akulturasi individu tersebut yaitu melindungi kebudayaan dan mempelajari kebudayaan. Tapi ketika keduanya tidak dapat dijalani dengan sempurna maka terdapat dua pilihan yaitu untuk mempertahankan atau berubah sesuai kebudayaan yang dianggap lebih dominan.
Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-individu yang berinteraksi dalam pertemuan-pertemuan kultur tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan kejutan budaya (culture shock). Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335) Pembahasan tentang masalah culture shock juga perlu memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda.
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:
1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama
6. rindu pada teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh
8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)
Perkembangan penting dari studi tentang akulturasi didapat dari Graves (1967), yang membedakan akulturasi antara tingkat individu dan pada tingkat kelompok. Dia merujuk akulturasi psikologis (psychological acculturation) mengindikasikan perubahan yang dialami pada tingkat individu, dan perilaku serta identitas sebagai hal yang dihubungkan dalam perubahan sosial pada tingkat kelompok (dalam Berry dkk, 1996; 1999). Pada tingkat individu, semua aspek perilaku yang ada dalam individu akan dirujuk sebagai perilaku yang akan berubah, yang akan menjadi dua komponen perilaku dalam strategi akulturasi individu tersebut (Berry dkk., 1999), yaitu melindungi kebudayaan dan mempelajari kebudayaan. Kedua komponen tersebut jarang dapat dilakukan dengan sempurna dalam satu kegiatan, tetapi lebih sering keduanya dilakukan secara selektif, yang akan menghasilkan dua sikap, mempertahankan atau berubah.
Akulturasi psikologis dalam matriks akulturasi menurut John Berry adalah ketika individu yang masing-masing memiliki perbedaan latar belakang budaya dihadapkan pada fenomena perubahan budaya dalam kelompoknya maka individu melakukan akulturasi psikologis sebagai upaya mempertahankan identitas budayanya. Akulturasi psikologis (psychological acculturation) mengindikasikan perubahan yang dialami pada tingkat individu, dan perilaku serta identitas sebagai hal yang dihubungkan dalam perubahan sosial pada tingkat kelompok. Pada tingkat individu, semua aspek perilaku yang ada dalam individu akan dirujuk sebagai perilaku yang akan berubah, yang akan menjadi dua komponen perilaku dalam strategi akulturasi individu tersebut yaitu melindungi kebudayaan dan mempelajari kebudayaan. Tapi ketika keduanya tidak dapat dijalani dengan sempurna maka terdapat dua pilihan yaitu untuk mempertahankan atau berubah sesuai kebudayaan yang dianggap lebih dominan.
Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-individu yang berinteraksi dalam pertemuan-pertemuan kultur tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan kejutan budaya (culture shock). Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335) Pembahasan tentang masalah culture shock juga perlu memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda.
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:
1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama
6. rindu pada teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh
8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar