SlideShow

0

Logoterapi

Logoterapi berasal dari kata logos yang telah diadopsi dari bahasa Yunani dan berarti "makna" (meaning) dan juga "ruhani" (spirituality). Logoterapi ditopang oleh filsafat hidup dan insight mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi spiritual, selain dimensi somatis, dimensi psikologis dan dimensi sosial pada eksistensi manusia, serta menekankan pada makna hidup dan kehendak untuk hidup bermakna sebagai potensi manusia. Dalam logoterapi dimasukkan pula kemampuan khas manusia, yaitu self-detachment dan self-trancendence yang keduanya menggambarkan adanya kebebasan dan rasa tanggung jawab. Karakteristik eksistensi manusia menurut logoterapi adalah: keruhanian (spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responsibility) (Victor Frankl, "The Cocept of Man in Psychoterapy", dalam Proceeding of the Royal Society of Medicine. Vol.47, 1954, hlm.979).

Filsafat Logoterapi lahir dari kondisi yang suram dan tiada penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Suasana Perang Dunia II benar-benar telah mencampakkan harga diri kemanusiaan sampai ke dasar terendahnya. Manusia tidak lagi dihargai sebagai entitas yang dapat mengambil keputusannnya sendiri. Institusi negara dan ideologi-ideologi totaliter telah merontokkan martabat manusia. Kita bisa melihat karya para filsuf eksistensialis yang sezaman dengan Frankl, seperti Albert Camus dan Jean Paul Sartre yang frustasi akan masa depan umat manusia. Mereka melihat kehidupan ini sebagai sesuatu yang ambigu dan dipenuhi dengan absurditas.

Tetapi Frankl tidak ingin terjebak dalam absurditas dunia. Dia berusaha melampauinya melalui filsafat hidup Logoterapi. Filsafat Logoterapi mensiratkan sebuah harapan besar tentang masa depan kehidupan manusia yang lebih berharga dan bermakna. Teori tentang kodrat manusia dalam Logoterapi dibangun diatas tiga asumsi dasar, dimana antara yang satu dengan yang lainnya saling menopang, yakni: (a) kebebasan bersikap dan berkehendak (the freedom to will); (b) kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning); dan (c) tentang makna hidup (the meaning of life) (Frankl, "The Philosophical Foundations of Logoterapy", dalam Psychotearpy an Existentialism, hlm 13-28).

Tentang "Kebebasan berkehendak" pada dasarnya merupakan antitesa terhadap pandangan mengenai manusia yang sifatnya deterministik, sebagaimana yang mendasari Psikoanalisa dan Behaviorisme. Frankl sendiri menyebut pandangan tersebut sebagai "pan-determinisme", yakni: "....pandangan seseorang yang tidak menghargai kemampuannya dalam mengambil sikap untuk mencapai kondisi yang diinginkannya. Manusia tidak sepenuhnya dikondisikan dan ditentukan oleh lingkungannya, namun dirinyalah yang lebih menentukan apa yang akan dilakukan terhadap berbagai kondisi itu. Dengan kata lain manusialah yang menentukan dirinya sendiri" (Frankl, Man's Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy, 1962, hlm. 131).

Tentang "Kehendak untuk hidup bermakna" (the will to meaning), menurut Frankl merupakan motivasi utama yang tedapat pada manusia untuk mencari, menemukan dan memenuhi tujuan dan arti hidupnya.

Dalam menerangkan the will to meaning, Frankl berangkat dari kritiknya terhadap the will to pleasure (Sigmund Freud) dan the will to power (Alfred Adler), yang masing-masing menganggap tujuan utama dari motivasi manusia adalah untuk mendapatkan kesenangan/kenikmatan (pleasure) dan kekuasaan (power).

Mengenai kedua pendapat diatas Frankl memberi catatan bahwa kesenangan bukanlah semata-mata tujuan hidup manusia, melainkan "akibat sampingan" (by product) dari sebuah tujuan itu sendiri. Begitu juga dengan kekuasaan yang hanya menjadi sarana untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Karena pada dasarnya pleasure dan power sebenarnya sudah tercakup dalam the will to meaning (kekuasaan merupakan sarana untuk mencapai makna hidup, dan kesenangan hanyalah efek samping yang dihasilkan dari terpenuhinya makna hidup tersebut).

Frankl memang sengaja menyebut the will to meaning bukan the drive to meaning, karena menurutnya makna dan nilai itu berada di luar diri manusia dan kebebasan manusia-lah yang menentukan apakah ia akan menerimanya atau menolaknya. Makna dan nilai adalah hal-hal yang harus dicapai bukan suatu dorongan.

Tentang "Makna hidup", Frankl menganggap bahwa makna hidup itu bersifat unik, spesisfik, personal, sehingga masing-masing orang mempunyai makna hidupnya yang khas dan cara penghayatan yang berbeda antara pribadi yang satu dengan yang lainnya. Seorang logoterapis sama sekali tidak memberikan makna hidup tertentu pada klien-kliennya, ia hanya membantu memperluas cakrawala pandangan klien mengenai kemungkinan-kemungkinan menemukan makna dan arti hidup, serta membantu mereka untuk menyadari tanggung jawab dari setiap tujuan hidup mereka. Memilih, menentukan makna hidup sepenuhnya menjadi tanggung jawab klien, dan bukan tanggung jawab terapis.

Dalam The Doctor and the Soul (1964), Frankl juga menerangkan bahwa Logoterapi dapat membimbing manusia dalam melakukan kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup. Pertama, berkarya serta melakukan tugas hidup sebaik-baiknya. Kegiatan ini biasa disebut sebagai creative values (nilai-nilai kreatif). Kedua, berusaha mengalami dan menghayati setiap nilai yang ada dalam kehidupan itu sendiri. Proses mengalami ini biasa disebut sebagai experiental values (nilai-nilai penghayatan). Ketiga, menerima berbagai bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti kedukaan, sakit yang tak tersembuhkan lagi, kematian, setelah segala daya upaya telah dilakukan secara maksimal. Sikap tabah terhadap realitas seperti ini biasa disebut sebagai attitude values (nilai-nilai bersikap).

Nilai-nilai diatas kiranya dapat dihadapkan pada para klien oleh seorang Logoterapis, dalam membantu menemukan makna dan tujuan hidup klien yang otentik. Dan terpulang pada klien sendiri untuk memilih, menentukan, dan merealisasikannya. Sketsa Self-disoder Manusia Kontemporer

Ada beberapa problem eksistensial yang galibnya berusaha diatasi oleh filsafat Logoterapi, yaitu Existential Frustation (frustasi eksistensial), Existential Vacuum (kehampaan eksistensial), dan Noogenic Neurosis (neurosis noogenik). Ketiganya merupakan istilah-istilah kunci dalam logoterapi, satu sama lainnya saling berhubungan, serta merupakan konsep-konsep dasar dalam memahami gangguan kejiwaan dalam kehidupan manusia kontemporer.

Frustasi eksistensial muncul ketika dorongan untuk hidup bermakna mengalami hambatan. Gejala-gejala dalam frustasi eksistensial tidak mewujud secara nyata, karena pada umumnya bersifat laten dan terselubung (masked). Perilaku yang menandai frustasi eksistensial biasanya terungkap dalam berbagai usaha untuk memperoleh kompensasi besar melalui penyaluran hasrat untuk berkuasa (the will to power) atau bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure). (Frankl, Psychoyherapy and existentialism, hlm. 120-121).

Frustasi eksistensial sering ditemukan dalam gejala neurosis. Untuk neurosis jenis ini, logoterapi menandainya dengan istilah "neurosis noogenik" yang berbeda dengan neurosis "psikogenik". Ini adalah istilah dalam Logoterapi yang merujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan sisi spiritual manusia. Dalam frame rujukan Logoterapi istilah "spiritual" tidak memiliki konotasi utama pada agama, namun kembali secara khusus pada eksistensi manusia (Frankl, Man's Search to Meaning, hlm. 112).

Sementara itu, mengenai kehampaan eksistensil, biasanya muncul dalam perilaku yang menunjukkan perasaan serba hampa, gersang, dan kebosanan yang berlebihan. Menurut Frankl, faktor-faktor yang menyebabkan meluasnya kehampaan eksistensial adalah dianutnya ideologi-edeologi tentang manusia yang bercorak reduksionistik, pan-determinisme, serta teori-teori homeostatis. Wawasan-wawasan tersebut menganggap eksistensi manusia sebagai sistem yang tertutup, atau memandang manusia dari sudut pandang kemanusiaan yang sub-human, dan dengan demikian mengembangkan berbagai model manusia yang berpola "rat-model", "machine model", "computer model", dan sebagainya. Wawasan-wawasan ini mengingkari karaktersitik khas manusia seperti: kemampuan mentransendensikan diri, kemampuan mengambil jarak dengan lingkungan dan diri sendiri, kebebasan berkehendak, rasa tannggung jawab, dan spiritualitas.

Terakhir mengenai "Neurosis noogenik". Neurosis noogenik tidak muncul dari arahan konflik antara Id-Ego-Superego, konflik instingtif, trauma psikis, dan berbagai kompleks psikis lainnya, akan tetapi muncul dari problematika spiritual. Neurosis noogenik tidak mengakar pada dimensi psikis manusia, melainkan bersumber pada dimensi spiritual, sehingga dengan demikian neurosis ini tidak bersifat psikogen, tetapi spiritual/noogenik. Frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang menyebabkan terjadinya neurosis jenis ini.

Menurut Frankl, dalam kasus neurosis noogenik, terapi yang cocok dan memadai bukanlah psikoterapi, melainkan Logoterapi; sebuah terapi yang berani memasuki dimensi spiritual dari eksistensi manusia.

Out-put dari proses Logoterapi bisa terlihap pada kepribadian yang sehat atau dalam istilah Frankl "pribadi yang mengatasi diri". Inilah pribadi yang mampu melihat kehidupan dunia tidak hanya dalam kerangka pengejaran akan kekuasaan dan kenikmatan, tetapi lebih berhubungan dengan kemampuan untuk hidup bermakna dalam berbagai kondisi. Tujuan hidup bukanlah hanya untuk mencapai kondisi keseimbangan (equilibrium), yang serba tanpa ketegangan, melainkan senantiasa berada dalam semacam tegangan yang produktif antara apa yang kita hayati sekarang, dengan prediksi dan pengandaian tentang apa yang kita hayati pada masa mendatang.
 

0 komentar:

Posting Komentar